Imam Ibnu Qayyim menjelaskan bahwa pokok atau landasan dari jihad melawan orang kafir adalah jihad melawan hawa nafsu dan setan dengan jalan menjalankan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Orang yang mampu berjihad melawan orang-orang kafir hanyalah orang-orang yang mampu menundukkan hawa nafsunya. Penjelasan beliau ini dengan jelas menunjukkan bahwa berjihad melawan orang kafir merupakan jihad terbesar dan paling agung, karena hanya bisa diraih oleh orang-orang yang lulus dari jebakan hawa nafsunya.
Untuk memerangi hawa nafsu, imam Ibnu Qayyim menyebutkan empat tahapan :
a). Berjihad dengan mempelajari din yang haq ( Islam ).
b). Berjihad dengan mengamalkan perintah – perintah agama yang telah dipelajari.
c). Berjihad dengan mendakwahkan agama Islam serta mengajarkannya kepada orang yang tidak tahu.
d). Berjihad dengan bersabar terhadap rintangan dakwah. [1
Sebagian pihak memperalat penjelasan beliau ini untuk menyibukkan umat Islam dari jihad melawan musuh-musuh Islam dengan alasan memerangi nafsu. Mereka mengharuskan kaum muslimin untuk belajar banyak ilmu dalam jangka waktu yang lama. Mereka mengharuskan umat Islam untuk mengkaji berbagai buku-buku aqidah, fiqih, hadits, akhlak dan ilmu-ilmu lainnya kepada para ulama. Baru setelah mereka menguasai seluruh ilmu ini, mereka kemudian mengamalkan ilmunya, kemudian berdakwah dan bersabar baru kemudian boleh berjihad. Selama belum melewati empat tahapan ini, mereka melarang kaum muslimin untuk berjihad. Akhirnya dibutuhkan waktu yang sangat lama untuk boleh berjihad.
Untuk itu ke empat tahapan ini perlu didudukkan secara jelas sehingga tidak terdapat lagi kebingungan dalam memahami perkataan imam Ibnu Qayyim. Sesungguhnya ilmu ada dua : yaitu ilmu yang hukumnya fardhu ‘ain (wajib dipelajari oleh setiap individu muslim) dan ilmu yang hukumnya fardhu kifayah (wajib sebagian kaum muslimin mempelajarinya sampai tertangani secara baik sehingga kewajiban tersebut gugur atas kaum muslimin yang lain).
(1). Ilmu fardhu ‘ain. Ilmu ini juga ada dua jenis:
(a). Ilmu ‘aam atau musytarak yaitu ilmu yang wajib diketahui oleh seluruh umat Islam seperti : rukun-rukun Islam, rukun-rukun iman, hal-hal yang diharamkan secara qath’i dan lain-lain.
(b). Ilmu khash yaitu mempelajari hukum-hukum secara mendetail bagi orang yang wajib atasnya untuk melaksanakannya. Contohnya : Orang yang tidak wajib membayar zakat dan melaksanakan haji karena tidak mempunyai harta yang mencapai nishob dan mencukupi untuk haji, ia tidak wajib untuk mempelajari detail-detail hukum zakat dan haji. Kewajiban mempelajari hukum-hukum haji dan zakat berlaku bagi orang yang memang mempunyai harta yang mencapai nishob dan cukup untuk melaksanakan haji.
(2). Ilmu fardhu kifayah yaitu ilmu yang wajib dipelajari oleh umat sebagai sebuah kesatuan, namun jika sebagian mereka mengerjakannya maka bagi yang mempelajarinya mendapat pahala dan kewajiban mempelajarinya gugur atas sebagian umat Islam yang lain. Namun jika tak ada sebagian yang mengerjakannya maka semuanya berdosa.[2]
Jika hal ini diterapkan dalam orang yang berjihad, maka ilmu yang hukumnya fardhu ‘ain atasnya adalah ilmu yang ‘am (rukun Islam, rukun iman, hal-hal yang haram dan maksiat). Adapun ilmu yang wajib dipelajarinya adalah mempelajari hukum-hukum jihad yang berkaitan langsung dengan dirinya yaitu hak-hak Allah, hak-hak komandan dan hal-hal yang boleh dan tidak boleh dalam perang melawan musuh. Adapun hukum-hukum ghanimah, fa’i, tawanan dan perjanjian damai atau gencatan senjata, maka tidak wajib atas dirinya namun wajib atas amir (komandan jihad).[3]
Di bawah ini kita sampaikan perkataan para ulama salaf yang menerangkan hal ini:
Imam Ibnu Abil Izz Al Hanafi berkata,” Barang siapa wajib atasnya haji dan zakat misalnya, kewajiban iman yang harus ia kerjakan adalah mengetahui apa yang diperintahkan kepadanya dan ia mengimani bahwa Allah mewajibkan atasnya apa yang tidak wajib diimani oleh orang lain (berupa zakat dan haji karena tidak mampu melaksanakannya—pent) kecuali secara mujmal (global). Dalam hal ini ia wajib mengimani secara mufashal (terperinci). Demikian juga seorang yang masuk Islam, kewajiban pertama kali adalah iqrar (membenarkan) secara mujmal. Jika datang waktu sholat ia wajib mengimani kewajiban sholat dan melaksanakannya. Dengan demikian, manusia tidak sama dalam iman yang diperintahkan kepada mereka.”[4]
Imam Syafi’i juga mengatakan,” Ilmu ada dua ; ilmu umum di mana seorang baligh yang sehat akalnya harus mengetahuinya …seperti sholat lima waktu dan Allah mewajibkan atas manusia shaum Ramadhan dan haji jika mampu serta zakat harta mereka, dan Allah mengharamkan atas mereka perbuatan zina, membunuh, mencuri dan minum khamr dan kewajiban yang semakna dengan hal ini di mana para hamba dikenai beban memahami, mengamalkan dan mencurahkan dari nyawa dan harta mereka, serta menahan diri dari apa yang diharamkan atas mereka.
(Kemudian beliau berkata tentang fardhu kifayah) :
“ Derajat ilmu ini tidak menjadi kewajiban seluruh manusia dan setiap individu. Siapa pun individu mampu mencapainya maka tidak boleh mereka semua menihilkannya (meninggalkannya). Jika sebagian individu sudah melaksanakannya sampai derajat mewakili, maka insya Allah yang lain tidak terkena dosa. Orang yang mengerjakannya mempunyai kelebihan atas yang meninggalkannya.”[5]
Ibnu Abdil Barr mengatakan,” Para ulama telah sepakat bahwa ilmu ada yang hukumnya fardhu ‘ain atas setiap individu dan adapula yang hukumnya fardhu kifayah jika sebagian telah melaksanakannya maka kewajiban melaksanakannya gugur atas masyarakat luas.” Beliau lalu menukil perkataan para ulama salaf dalam hal ini, seperti imam Hasan Al Bashri, Malik bin Anas, Abdullah bin Mubarak, Sufyan bin Uyainah dan Ishaq bin Rahawaih.”[6]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata :
“ Mencari ilmu syar’i itu fardhu kifayah kecuali dalam hal-hal yang fardhu ‘ain, seperti setiap individu mencari ilmu tentang apa yang diperintahkan dan dilarang Allah atasnya, maka hal seperti ini hukumnya fardhu ‘ain sebagaimana diriwayatkan oleh kedua imam (bukhari dan muslim –pent) dalam shahihain dari nabi beliau bersabda,” Barang siapa dikehendaki kebaikan oleh Allah, maka ia akan dijadikan faqih dalam dien.” Setiap orang yang dikehendaki kebaikan pada dirinya oleh Allah, pasti difaqihkan dalam dien. Barang siapa tidak dijadikan faqih dalam dien maka Allah tidak menghendaki kebaikannya. Dien adalah apa yang rasul diutus dengannya. Itulah yang wajib dibenarkan dan diamalkan oleh setiap orang. Maka setiap orang wajib membenarkan khabar yang diberitakan Rasulullah dan ia wajib mentatinya dalam apa yang diperintahkannya dengan pembenaran yang umum dan ketaatan yang umum. Jika kemudian ada khabar yang tsabit (tegas/jelas keshahihahnnya) maka ia wajib membenarkannya secara tafshili (terperinci/detail), dan jika berupa perintah yang harus dikerjakan maka ia harus mentaatinya dengan ketaatan mufashalah (detail).”[7]
Lebih jelas lagi beliau menyatakan :
“ Ilmu-ilmu syar’i ada dua : ilmu ushul (pokok) dan ilmu furu’ (cabang). Ilmu ushul adalah ma’rifatullah dengan keesaan-Nya dan sifat-sifat-Nya dan membenarkan para rasul. Setiap mukallaf wajib mengetahuinya dan ia tidak boleh taqlid karena telah nampak jelasnya tanda-tanda kebesaran Allah. Allah berfirman,” Maka ketahuilah bahwasanya tidak ada ilah selain Allah.” (QS. Muhammad :19). Allah berfirman,” Akan Kami perlihatkan kepada mereka tanda-tanda kekuasaan Kami di ufuq dan dalam diri mereka sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Allah adalah haq.” (QS. Fushilat :53).
Adapun Ilmu furu’ adalah ilmu fiqih dan mengetahui hukum-hukum dien. Ini terbagi menjadi fardhu ‘ain dan fardhu kifayah. Ilmu fardhu ‘ain contohnya ilmu tentang thaharah, sholat dan shaum. Setiap individu wajib mengetahuinya. Rasulullah bersabda,” Menuntut ilmu itu wajib ats setiap individu.” Demikian juga setiap ibadah yang diwajibkan syariat atas tiap individu, wajib hukumnya mengetahuinya seperti ilmu zakat jika ia mempunyai harta dan ilmu haji jika telah wajib atasnya.
Adapun fardhu kifayah adalah mempelajari ilmu yang menyampaikan kepada derajat ijtihad dan fatwa. Jika penduduk sebuah negeri tidak mempelajarinya, mereka semua telah bermaksiat. Jika seorang di antara mereka telah mempelajarinya (dan telah mencukupi—pent) maka kewajiban itu gugur atas yang lain dan mereka semua harus bertaqlid kepada orang tersebut dalam perkara-perkara yang menimpa mereka (di bidang itu---pent). Allah berfirman,” Maka bertanyalah kepada orang-orang yang berilmu jika kalian tidak mengetahui.” (QS. An Nahl :23).”[8]
Bila penjelasan mengenai ilmu ini sudah dipahami, maka jelaslah cara memahami keterangan imam Ibnu Qayyim di atas, dan jelas pula jawaban atas syubhat jihad hawa nafsu adalah jihad paling agung dan paling utama sehingga seorang muslim tidak boleh berjihad sebelum belajar dan menuntut ilmu ;
- Jika yang mereka maksudkan adalah ilmu yang hukumnya fardhu ‘ain, maka mempelajari rukun iman, rukun Islam, tauhid, hal-hal yang membatalkan keislaman dan hal-hal yang haram dan maksiat itu mudah tak memerlukan waktu yang lama. Mereka tidak wajib mengetahui dalil-dalilnya secara terperinci. Sebagaimana Imam Al Qurthubi mengatakan,” Inilah pendapat para imam-imam pemberi fatwa dan para imam salaf sebelum mereka, dan sebagain mereka berhujah dengan pendapat yang telah lewat berupa pokok-poko fithrah dan juga berdasar riwayat mutawatir dari Rasulullah kemudian para shahabat bahwa mereka menghukumi keislaman orang yang masuk Islam dari penduduk arab pedalaman yang semula menyembah berhala. Mereka menerima dari penduduk arab tersebut pengakuan mereka dengan dua kalimat syahadat dan iltizam (komitmen) dengan hukum-hukum Islam tanpa mewajibkan mereka mempelajari dalil-dalinya.” [9] Hal ini juga diterangkan oleh imam An Nawawi[10] dan para ulama lain.[11]
- Jika yang mereka maksudkan adalah ilmu-ilmu yang hukumnya fardhu ‘ain sehingga seorang muslim tidak boleh berjihad sampai menguasai kadar tertentu dari ilmu-ilmu syar’i, maka ini jelas batil karena :
(a) - Merubah hal yang hukumnya fardhu kifayah menjadi fardhu ‘ain. Akibatnya meniadakan maslahat bagi umat Islam dengan memerintahkan mereka semua untuk belajar. Ini jelas bertentangan dengan firman Allah :
وَمَاكَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَآفَةً فَلَوْلاَ نَفَرَ مِن كُلِّ فِرْقَةٍ مِنهُمْ طَآئِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mu'min itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya._ [QS. At Taubah :122]. Ayat ini membagi umat Islam menjadi dua kelompok : kelompok yang belajar dan kelompok yang tidak belajar, seperti firman Allah :
فَسْئَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَتَعْلَمُونَ
“ Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui._ [QS. An Nahl :43, Al Anbiya’ :7].
Ayat ini menunjukkan kewajiban orang yang tidak mengerti (awam, kelompok yang tidak belajar) adalah bertanya kepada kelompok yang belajar (mutafaqih, ulama). Sementara kewajiban ulama dan mutafaqih adalah menjawab pertanyaan orang yang bertanya. Jika ulama dan mutafaqih melihat orang yang tidak tahu melakukan suatu perbuatan yang salah, maka kewajiban mereka adalah memberi peringatan dan pengertian seperti firman Allah :
وَلِيُنذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
“ Dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya._ [QS. At Taubah :122].
قُلْ تَعَالَوْا أَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ
“ Katakanlah,’ Kemarilah, aku bacakan kepada kalian apa yang diharamkan rabb kalian kepada kalian.’ [QS. Al An’am :151].
(b) Menjadikan sesuatu yang bukan syarat jihad menjadi syarat jihad dengan mensyaratkan belajar terlebih dahulu kepada orang yang akan berjihad. Padahal sama sekali tidak ada dalil Al Qur’an dan As Sunah yang menyatakan belajar terlbih dahulu merupakan syarat jihad. Dengan demikian, persyaratan ini adalah bid’ah dholalah. Sirah Rasulullah, para shahabat dan para ulama salaf sesudah mereka juga tidak mensyaratkan menuntut ilmu terlebih dahulu atas setiap muslim yang akan berjihad. Mereka tidak menguji kemampuan ilmu syar’i setiap muslim yang akan berjihad.
Rasulullah bersama 1400 shahabat dalam perjanjian Hudaibiyyah (tahun keenam H), bersama dengan 10.000 shahabat dalam fathu Makkah (tahun 8 H) dan sebulan kemudian beliau menerjuni perang Hunain bersama 12.000 shahabat, 2000 di antaranya adalah kaum Quraisy yang baru masuk Islam seulan sebelumnya. Kapan mereka belajar ilmu-ilmu syar’i kalau keislaman mereka baru berjalan satu bulan ? Apakah Rasulullah menyuruh mereka tinggal di Makkah dan melarang mereka untuk tidak berjihad dengan alas an belum menuntut ilmu syar’i ? Rasulullah justru melibatkan mereka dalam jihad dan mengajari mereka ilmu-ilmu syar’i dalam perjalan jihad, sebagaimana hadits :
Abu Waqid Al Laitsy berkata,” Kami keluar bersama Rasulullah menuju Hunain padahal kami baru saja keluar dari kekufuran. Orang-orang musyrik mempunyai sebatang pohon keramat tempat mereka berkumpul dan menggantungkan senjata, namanya dzatu anwath. Kami melewati pohon semisal, maka kami berkata,” Ya Rasulullah, buatlah untuk kami dzatu anwath sebagaimana mereka juga mempunyai dzatu anwath.” Maka beliau bersabda,” Allahu Akbar, sesungguhnya hal ini merupakan jalan (umat terdahulu). Demi Dzat yang nyawaku di tangan-Nya, seperti perkataan Bani Israil kepada Musa “ Buatlah untuk kami Ilah (tuhan sesembahan) sebagaimana mereka mempunyai banyak ilah (sesembahan).” –Terjemah QS. Al A’raaf :138—Kalian benar-benar akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian.”[12]
Begitu juga sirah para khulafaur rasyidun. Kaum murtad yang diperangi pada masa kholifah Abu Bakar, mereka langsung dikirim ke medan jihad melawan Romawi dan Persia. Merekalah yang menaklukkan Syam dan Iraq. Khalifah sama sekali tidak memerintahkan kepada mereka untuk menuntut ilmu syar’i terlebih dahulu.
Bahkan kalau ada orang yang tidak mempelajari ilmu-ilmu fardhu ‘ain lantas ia ikut berjihad, ketidak belajarannya tetap tidak menghalangi untuk berjihad. Inilah sunah Rasulullah dan para khalifah selanjutnya :
عَنْ أَبِيْ إِسْحَاقِ سَمِعْتُ الْبَرَاءَ يَقُوْلُ : أَتَى النَّبِيَ رَجُلٌ مُقَنِّعُ بِالْحَدِيْدِ فَقَالَ : يَا رَسُوْلَ اللهِ, أُقَاتِلُ أَوْ أُسْلَمْ ؟ قَالَ : أَسْلِمْ ثُمَّ قَاتِلْ. فَأَسْلَمَ ثُمَّ قَاتِلْ فَقُتِلَ,فَقاَلَ رَسُوْلُ اللهِ : عَمِلَ قَلِيْلًا وَ أُجِرَ كَثِيْرًا.
Dari Abu Ishaq ia berkata,” Saya mendengar al Bara’ bin Azib berkata,”Seorang laki-laki mendatangi Nabi sedang ia telah memakai helm besi untuk perang dan bertanya,” Ya Rasulullah, saya masuk Islam dulu atau ikut perang dulu?” Beliau menjawab,’ masuklah Islam baru kemudian ikut berperang?” Maka ia masuk Islam dan ikut berperang, sampai akhirnya terbunuh. Maka Rasulullah bersabda,” Ia beramal sdikit dan mendapat anyak pahala.” [13]
Ibnu Ishaq dalam al Maghazi dengan sanad yang shahih menyebutkan bahwa Amru bin Tsabit tidak mau masuk Islam. Ketika terjadi perang Uhud, ia ikut perang sampai terluka parah (padahal masih musyrik). Para shahabatnya (kaum anshar, sudah mukmin) bertanya kepadanya,”Apa yang membuatmu ikut berperang, apakah karena sayang dengan kaummu atau karena ingin masuk Islam?” Maka ia menjawab,” Karena ingin masuk Islam.” Maka Rasulullah bersabda,” Ia termasuk penduduk surga.” Imam Abu Daud dan al Hakim menyatakan ia tidak mau masuk Islam karena menolak pelarangan riba. Ia meninggal dalam perang Uhud dan masuk surga, padahal belum pernah melakukan sekalipun dari kewajiban shalat lima waktu.[14]
Inilah sirah nabawiyah dan khulafaur rasyidin tentang menuntut ilmu bagi orang yang akan berjihad. Bila menuntut ilmu sudah jelas, maka maksud dari mengamalkannya pun sudah terang. Dari sini, jelas sekali bahwa perang melawan orang kafir adalah jihad terbesar dan paling utama. Adapun jihad melawan hawa nafsu maka bisa dikerjakan sebelum, saat sedang dan sesudah berjihad melawan orang kafir. Jadi, orang yang berjihad melawan orang kafir berarti telah berjihad lahir batin menghadapi musuh orang kafir dan musuh setan dan hawa nafsu. Sementara orang-orang yang hanya duduk-duduk belajar ilmu syar’I yang banyak namun tidak kunjung berjihad dengan alas an jihad melawan setan dan hawa nafsu, tarbiyah dan tashfiyah, mereka itu sebenarnya tidak memahami ilmu apa yang seharusnya dituntut dan bagaimana mereka mengamalkannya. Dengan kata lain, mereka dipermainkan oleh setan dan hawa nafsunya. Wallahu A’lam.
[1] Zaadul Ma’ad : 3/9, tentang marotib jihad an-nafs
[2] . Al Umdah fi I’dadil Uddah hal. 351, Syaikh Abdul Qadir bin Abdul Aziz.
[3] . Al Umdah fi I’dadil Uddah hal. 351.
[4]. Ibnu Abil Izz Al Hanafi, Syarhu Aqidah Thahawiyah hal. 377-378, Al Maktabul Islamy, 1403 H.
[5] . Ar Risalah hal. 357-360, tahqiq : Ahmad Syakir.
[6]. Jamiu Bayanil Ilmi wa Fadhlihi 9-12.
[7] . Majmu’ Fatawa 28/80.
[8]. Syarhu Sunah 1/289-290, Beirut, Al Maktabul Islami, cet 2 : 1403 / 1983 M, tahqiq Syu’aib Al Arnauth.
[9] . Fathul Baari 13/320.
[10] . Al Majmu’ Syarhul Muhadzab I/45, Beirut, Daarul Fikr, cet 1 :1996 M, tahqiq ; Dr. Mahmud Muthraji.
[11] . Mukhtashor Minhajil Qasidin hal. 14, Ibnu Qudamah, Daarul Fikr.
[12] . HR. Tirmidzi no. 1871, Shahih.
[13]. HR. Bukhari Kitabu Jihad sebuah bab,” Amalun Sholihun qabla al Qital” {amal sholih sebelum perang}. no. 2808
[14]. Fathu al Bari 6/31, bab amal shaleh sebelum berperang.
Labels: Artikel dan Bacaan Islami
0 comments:
Posting Komentar